RSS

Tag Archives: khadimat

Tips Bikin ART ‘Langgeng’

Namanya Lasinem, kami biasa memanggilnya Mbak Las, anak-anakku memanggilnya Bude Las. Beliau sudah menjadi bagian dari keluarga kami (keluargaku dari pihak suami) selama lebih dari 20 tahun, sangat memahami seluk beluk keluarga ini. Sosok penyayang yang satu ini juga pembelajar sejati, meski tak berpendidikan tinggi. Kurang lebih dua minggu lalu beliau mengkhatamkan bacaan biografi Chairul Tanjung Si Anak Singkong. Tamat! Padahal aku sendiri baru melihat tebal bukunya saja sudah enggan. Sehari-hari jika ada waktu luang, beliau memilih membaca. Koran, resep, tips sehat, menonton acara TV pun sangat selektif. Beliau sangat telaten mengurus anak-anak. Beliau juga mampu menjaga ‘rahasia’ keluarga. Siapakah beliau? ‘orang luar’ menyebutnya (maaf) pembantu, atau bahasa kekiniannya ART (asisten rumah tangga), bahasa jawanya rewang, bahasa islaminya khadimat. Tapi bagi kami, beliau sungguh bagian dari keluarga. Bahkan untuk sekedar menyebutnya sebagai ‘rewang’ saat ada kenalan yang bertanya saja sungguh lidah ini tidak mampu. Ya, karena suah sebegitu dekatnya beliau dengan kami.

Mengapa aku bercerita tentang Mbak Las disini? Barangkali kebutuhan ART di dunia modern ini semakin signifikan, sedangkan mencari ART yang sreg di hati dan mau bertahan lama (konon) sangat sulit. Aku sendiri pernah 2 bulan ber-ART, namun akhirnya kupulangkan sebab beberapa hal ketidakcocokan. Oleh karena itulah, maka akan kutuliskan sekelumit hasil perbincanganku dengan ibu (ibu mertua) mengenai kiat-kiat beliau membina hubungan baik dengan Mbak Las.  Apasajakah langkah yang bisa dilakukan untuk membuat ART ‘langgeng’? Simak berikut ini:

1. Jadikan ART bagian dari keluarga

Statusnya tidak tanggung-tanggung, Yes, she belongs to our family. Disesuaikan usia tentunya. Kalau cocok sebagai kakak, ya diposisikan sebagai kakak. Di keluarga, semua anak cium tangan saat harus ‘salim’ dengan Mbak Las, sebagaimana seorang kakak. Sehari-hari, kepada beliau adik-adik juga terbiasa berbahasa jawa halus–sebagaimana dengan yang lebih tua. Tidak pernah ada anak-anak ibu yang berani ‘memerintah’ beliau untuk urusan sepele (sambil bayangin adegan sinetron..hehe). Saat lebaran dan berbelanja baju, ada jatah baju juga di luar THR. Bahkan, saat keluarga besar bikin seragam trah, beliau juga kebagian 🙂

2. Berikan ia ‘ruang privasi’

Ada prinsip unik ibu yang diterapkan untuk menanamkan tanggung jawab pada diri si mbak. Awalnya aku merasa aneh, but it works. Sebagai contoh, saat hari-hari tertentu beliau minta izin untuk pulang kampung, maka ibu tidak tahu dan tidak akan pernah bertanya kapan mbak Las kembali. Ya, sepintas aneh. Tapi ibu melakukan itu bukan tanpa tujuan. Inginnya ibu, kalaupun beliau kembali itu murni karena kesadaran dan rasa tanggung jawab yang besar. Sebagai ‘orang baru’, kadang aku berpikir juga, nah kalau nggak balik gimana? kenyataannya balik terus tuh. Tentunya ini tidak berdiri sendiri, tapi dari contoh tersebut tentu tergambar ‘misi’ unik yang dijalankan ibuku.

3. Libatkan ia dalam proses belajar

Setiap ada informasi baru dunia kesehatan atau parenting, ibu tidak segan-segan berbagi dengan Mbak Las. Saat nonton TV bareng misalnya, sering muncul topik diskusi ringan berdasarkan tayangan yang sedang ditonton. Selain itu, ibu juga membebaskan Mbak Las untuk membaca bacaan apapun yang ibu miliki di rumah: majalah, koran, novel, dan sebagainya.

4. Keteladanan

Dalam mendidik anak, ibuku tidak pernah menerapkan standar ganda. Sebagai contoh, konsep menghargai yang lebih tua. Tidak peduli apapun ‘status sosial’nya, jika ia lebih tua, maka siapapun harus menghormati. Tak terkecuali kepada Mbak Las. Jika membelikan sesuatu untuk anak-anaknya, ibu pun selalu menjatah satu barang yang sama untuk mbak Las. Keteladanan beliau memperlakukan khadimat dengan baikpun, pada akhirnya diikuti oleh kami semua. Dalam beribadah, ibu tidak pernah ‘menyuruh’ mbak Las sholat tepat waktu, berjamaah di masjid, sholad dhuha, tahajjud, menutup aurat, dsb, tapi semua itu konsisten beliau amalkan. Beliau hanya mencontohkan, membiasakan, dan dengan demikian tercipta kultur yang kondusif dalam keluarga sehingga Mbak Las pun mengikutinya.

5. Ringankan bebannya

Rata-rata mental keluarga berkhadimat adalah: jika ada si Mbak, kenapa harus kita kerjakan sendiri? namun tidak demikian dengan ibu. Dari ibu kami belajar kebiasaan sebaliknya: jika ada yang masih bisa kita kerjakan sendiri, kenapa harus meminta mbak Las? Barangkali aneh, tapi nyata manfaatnya. Dari prinsip tersebut muncullah hubungan partnership–mbak Las adalah asisten, dan peran mereka saling melengkapi. Meski sehari-hari sibuk, ibu tetap meluangkan waktu untuk menyapu, mencuci piring, menyeterika di hari libur, menanak nasi, dan berbelanja keperluan makan sehari-hari. Beliau juga membiasakan putra-putrinya untuk turut berperan dalam mengelola rumah, meskipun kecil perannya, namun tentu sangat meringankan beban mbak Las.

Kelima hal tersebut hanyalah ikhtisar saja dari perjalanan Mbak Las di keluarga ini. Apalagi, hanya berdasar kesimpulanku saja yang baru mengenal beliau tak lebih dari 5 tahun. Tapi semoga tips tersebut bisa membantu siapa saja (termasuk diriku sendiri) untuk membuat ART langgeng sehingga tercipta tim yang solid untuk menjalankan urusan harian rumah tangga. Semoga bermanfaat 🙂

 
4 Comments

Posted by on July 9, 2013 in ibu rumah tangga

 

Tags: , , , ,